/

Senin, 06 Februari 2012

CERITA PENDEK (CERPEN)

DARMON
Karya Harris Effendi Thahar

Dari suara dan sopan santunnya menyapa, saya cukup simpati. Tetapi melihat tampangnya, pakaiannya, dan bungkus rokok yang sekilas saya lihat di kantung kemejanya, saya kurang berkenan.

"Saya Darmon, teman anak Bapak, Maya, yang mengantar malam-malam sehabis demo tempo hari." "Oh, ya? Saya tidak ingat kamu waktu itu. Tetapi, saya pikir Maya masih belum pulang dari kampus. Mau menunggu?" tawar saya tanpa sengaja dan saya berharap dia cepat-cepat pergi. Tetapi, tampaknya dia lebih lihai dari yang saya duga.

 
"Tidak apa-apa Pak, kebetulan saya sudah lama ingin ketemu Bapak, ngomong-ngomong soal sikap pemerintah terhadap gerakan reformasi oleh mahasiswa."
"Oh, apa tidak salah? Saya kan bukan pejabat, cuma pegawai negeri biasa," kilah saya sambil terus menyiram pot-pot bonsai kesayangan saya di teras.
"Justru itu, Pak. Kalau Bapak seorang pejabat atau bekas pejabat, pasti Bapak terlibat KKN dan tidak suka dengan saya karena saya salah seorang dari mahasiswa yang ikut mendemo pejabat teras di daerah ini." Entah bagaimana, saya merasa tersanjung dan mulai simpati pada anak muda itu, meski dalam hati bercampur rasa was-was kalau-kalau dia ternyata pacar Maya. Lebih jauh lagi, rasanya, Maya tak pantas pacaran dengannya. Setidaknya, menurut keinginan saya, pacar Maya, yang sekarang baru sembilan belas usianya itu, haruslah tampan dan kelihatan punya wawasan luas. Ini Darmon, seperti yang diperkenalkannya tadi, kelihatan tidak intelek dan lebih mirip kernet bus kota.
Ia begitu saja mengikuti langkah kaki saya memilih tanaman-tanaman kecil saya yang patut disemprot air karena kelihatan kering. Sepertinya Darmon tidak begitu tertarik dengan tanaman, malah mencecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan sekitar politik dalam negeri.
"Ngomong-ngomong, kamu jurusan apa?"
"Pertanian. Budi Daya Pertanian," jawabnya datar.
Saya terkesima dan telanjur menduga ia belajar sosial politik, mulai kurang simpati karena dia justru tidak tertarik dengan hobi saya.
"Ngomong-ngomong, kamu tahu tidak, nama latin bonsai yang ini?"
"Oh, pohon asem ini? Kalau tidak salah, Tamaridus indica."
"Kalau yang ini?" uji saya lebih jauh, kalau memang ia mahasiswa fakultas pertanian.
"Ini jenis Ficus, Pak. Ini sefamili dengan karet. Tepatnya yang ini Ficus benyamina."
"Kok kamu kelihatan tidak tertarik?"
"Bukan itu soalnya, Pak saya pikir, ini kesenangan orang yang sudah mapan seperti Bapak. Tidak mungkin saya menggandrungi tanaman yang membutuhkan perhatian besar dan halus ini dalam keadaan liar seperti ini."
 "Liar? Kamu merasa orang liar?"
"Nah, Bapak salah duga lagi. Bukan saya orang liar, tetapi situasi perkuliahan, praktikum, kegiatan kemahasiswaan, dan tambah lagi situasi sekarang yang membuat mobilitas saya tinggi. Jadi, bolehlah disebut liar, namun dalam pengertian yang saya sebutkan tadi."
Diam-diam saya merasa ditemani. Saya menawarkan duduk berdua sambil minum kopi di teras. Saya ingin tahu lebih jauh apa yang ada dalam hati pemuda mirip gembel itu.
"Maaf, kalau disuguhi kopi begini, keinginan merokok saya jadi muncul. Bapak keberatan?" ujarnya.
"Inah, bawa asbak rokok ke sini," desak saya kepada pembantu yang baru saja masuk setelah menghidangkan dua cangkir kopi. "Nah, itu tandanya saya tidak keberatan. Sekarang, coba kamu ceritakan keinginan kamu terhadap kondisi negara ini setelah pemilu nanti. Bapak mau tahu langsung dari aktivis reformasi."
Darmon tersenyum miring sambil menghembuskan asap rokoknya yang kelihatan mahal. Lalu ia buka suara. "Saya jadi kikuk, Bapak perlakukan saya seperti anak kecil terus."
"Kamu pikir begitu? rasanya kok ndak."
"Apa bedanya Bapak tanya saya begini 'Apa cita-citamu, Mon?' Sama saja kan? Maksud saya, pertanyaan Bapak itu terlalu umum."
"Mestinya saya tanya apa? Baik, begini. Menurut kamu, Mon, bagaimana prospek perekonomian bangsa Indonesia setelah pemilu?"
"Ini insting saya saja, Pak, ya. Menurut saya kalau tidak terjadi perang karena tidak puas, karena curang lagi misalnya, ekonomi kita bakal merangkak pelan sekali. Butuh waktu tiga sampai lima tahun. Kita baru bisa bangkit lagi setelah tujuh tahun," ujarnya lancar.
Saya mulai kagum dengan keberaniannya, kepolosannya, dan kelancarannya berbicara. Selama ini tidak ada anak muda yang bicara dengan gaya selancar dan sejujur dia, apalagi anak buah di kantor. Tiba-tiba saya menginginkan anak buah saya seperti Darmon. Tidak perlu membungkuk-bungkuk dan mengucapkan maaf berkali-kali, padahal yang diterimanya adalah haknya sendiri.
Senja mulai merambat. Kami terlibat dalam percakapan yang menarik. Bahkan, ketika Maya pulang, mendorong pintu pagar, hampir-hampir tidak menjadi perhatian benar bagi Darmon. Dia hanya saling tersenyum, meski saya tahu, di belakang saya mereka pasti akrab sekali. Justru Darmon pula yang mengingatkan saya tentang senja.
"Pak, sudah senja. Terima kasih atas waktu Bapak untuk saya. Saya pamit dulu."
"Bagaimana kalau Maghrib di sini saja?" terlontar begitu saja dari mulut saya. Saya merasa telanjur, jangan-jangan dia tidak seagama dengan saya.
"Terima kasih, saya selalu mengusahakan shalat Maghrib dan Isya di masjid. Assalamu’­alaikum."
Di meja makan, malam itu, saya mau tahu reaksi Maya. Sedapatnya saya ingin tahu aspirasi anak-anak agar tidak terlalu dalam jurang pemisah antargenerasi. Dari bacaan-bacaan, sering orang tua disalahkan karena tidak nyambung dengan keinginan anak-anak. Saya tak mau menjadi orang tua yang konyol. Oleh sebab itu, saya menanyai Maya di hadapan mamanya dan adiknya, Pada, yang kini sudah siswa SMA kelas satu.
"Kok, kamu tidak keluar lagi, Darmon ke sini kan, mau ketemu kamu, Maya."
"Ih, Papa. Orang begitu saja dilayani," jawabnya.
"Jadi, dia bukan pacar kamu?"
"Amit-amit, Pa. Kalau yang begituan, di kampus banyak, tuh."
"Maksud Papa, meski dia bukan pacar kamu, kalau dia datang baik-baik ingin ketemu, tidak ada salahnya ditemui sebentar. Papa tidak keberatan."
"Kan, sudah ada Papa yang melayani. Asyik lagi, pakai ketawa-ketawa ngakak. Untuk Papa ketahui, dia itu sekarang lebih banyak mangkal di markas reformasi. Kuliah jarang dan nilai semesternya anjlok semua. Orang seperti itu tidak punya masa depan, lho, Pa."
"Apa dia pemusik rock?" tanya Papa.
"Tau. Orang lain fakultas, lagi pula, saya Cuma kenal waktu demo tempo hari," jawab Maya.
"Kenapa?"
"Rambutnya panjang segitu, mestinya, dia ngerock. Zaman sekarang, rambut anak muda, kan, kayak Papa ini, cepak."
"Mama dengar sekilas tadi, dia ngomong politik tinggi sama Papa kamu di teras. Sekolah saja berantakan, kok mau-maunya omong politik. Apa dia itu bisa menyelesaikan sembako?"
"Wong, tampangnya serem, ya, Nya?" Inah ikut bicara sambil menuangkan air ke gelas istri saya.
"Ya, kamu lihat waktu ngasih kopi tadi, ya? Mama juga tidak sudi kalau pacar kamu kumal begitu, Maya."
Saya cuma mengunyah makanan diam-diam karena kalau mama anak-anak sudah buka bicara larinya pasti ke sembako, hidup susah, makan gaji tanpa tambahan. Ujung-ujungnya, akan sampai soal saya, yang tidak pandai berinduk semang sehingga tak pernah kebagian memegang proyek, padahal sudah dua puluh tahun bekerja sebagai pegawai negeri.
"Papamu ini memang sudah dari sononya aneh-aneh," Rini, istri saya, sudah mulai seperti yang saya duga.
"Memangnya, Papa aneh?"
"Mahasiswa gembel begitu saja diajak ngobrol ngalor-ngidul. Akrab lagi. Kemaren ini, Sanip datang menawarkan taktik untuk menggaet proyek, eh, malah disuruh pergi."
"Dia. Sanip itu, memang, biang kongkalikong di kantor. Yang penting kantungnya penuh. Tidak peduli itu bukan uang nenek moyangnya. Dia itu sudah pernah kena peringatan. Untung bos kami masih kasihan. Kalau tidak, dia itu diadili," jelas saya.

"Makanya, pandai-pandai, agar kita bisa hidup agak lumayan." Saya cepat-cepat mencuci tangan, meski masih tersisa nasi dan lauk di piring. Saya mau cepat-cepat ke teras, mendinginkan suhu badan di bulan Februari yang panas, setelah hampir enam bulan tidak diguyur hujan.

"Moneter, ya, moneter, orang-orang hidup pada senang juga. Papa kalian? Jangankan memperbaiki mobil, malah dijual. Sekarang, rasain, tiap pagi berebut bus kota."

Saya merasa bersyukur, istri saya tukang protes sejak dulu. Kalau tidak, mungkin saya sudah tidak bergairah lagi bekerja. Saya tidak perlu bersedih karena menurut saya, masih banyak orang Indonesia yang hidupnya memalukan, meskipun berpendidikan lumayan.

Sebagai kepala subbagian, saya selalu datang tepat waktu. Seperti biasa, selalu saja saya orang pertama, itu biasa. Tetapi ketika lewat di meja Sanip, saya jadi marah. Ternyata, surat edaran yang saya suruh kirim atas nama bos masih bertumpuk di mejanya. Begitu saya melihat batang hidungnya, langsung saya tuntut.

"Hei, edaran itu belum juga kamu kirim?"

"Ya, ya, Pak. Pagi ini, saya suruh Mardambin mengirimnya."

"Janji, ya?"

"Janji, Pak."

"Kamu sudah ngopi?"

"Sud…eh, belum Pak."

"Ke kantin, ayo, ikut saya."

"Terima kasih, Pak. Saya ikut!"

Saya mau tertawa, tetapi saya tahan. Tiba-tiba saya ingin menggantinya dengan Darmon. Dan, tiba-tiba pula, sewaktu minum kopi di kantin saya katakan pada Sanip agar dia meniru vitalitas kejujuran dan keberanian seperti Darmon.

"Darmon yang mana, Pak?"

Saya tertawa. Kali ini, tidak bisa saya tahan.

"Ada anak muda, mahasiswa, aktivis reformasi, tukang demo dan kelihatan kumal, serta rambutnya tak terurus, tetapi dia pintar."

Sanip memandang wajah saya, seperti ada sesuatu yang hendak dikatakannya. Sanip menghirup kopinya pelan-pelan, lalu membuang pandang jauh ke depan, menembus tembok kantor.

"Mengapa kamu, kok, sedih amat kelihatannya, Nip?"

"Habis, Bapak menyindir saya."

"Kenapa? Kamu tersinggung, ya? Meski saya atasan kamu, usia kita, kan, hampir sama. Kamu jangan sungkan-sungkan berkata jujur seperti Darmon yang saya kenal itu."

"Saya, memang, cuma tamat SMA, tidak sarjana seperti Bapak. Tetapi saya ingin anak saya jadi sarjana. Dia lulus UMPTN di fakultas pertanian. Tetapi kini, saya tak sanggup membiayainya lagi hingga semester ini dia istirahat kuliah. Kasihan dia!"

"Siapa anakmu?"

"Darmon!"

Kalau mau unsur intrinsik yang ada dalam cerpen diatas, ntar aku postingkan dalam posting selanjutnya. Semoga bermanfaat, Gamsahabnida :)


Tidak ada komentar: